OLEH-OLEH INOVASI TANPA DISRUPSI DARI BANGKOK
Pengarang buku strategi inovasi # 1 sejagat “Blue Ocean Strategy”, Chan Kim & Renee Mauborgne; di tahun 2023 lagi-lagi meluncurkan pemikiran mereka yang disruptif dengan judul “Beyond Disruption”, tentang bagaimana berinovasi bisa dilakukan tanpa mendisrupsi / merugikan siapapun! Sejauh ini inovasi dalam teori maupun prakteknya, yang sekalipun “hebat” hampir selalu dikonotasikan disruptif, yang bisa bermakna destruktif (merusak), setidaknya merusak para pemain yang tidak berinovasi. Contoh di sekitar kita bahwa inovasi bersifat disruptif, misalnya bagaimana Go-Jek dan kawan-kawan mendisrupsi tatanan transportasi publik kita, atau bagaimana Go-To telah memporak-porandakan bisnis retail, yang kemudian mengimbas ke supermarket, mall dan bisnis ruko; khususnya di era pandemi Covid-19. Silakan kunjungi ringkasan pemikiran mereka tentang “Beyond Disruption” di blog BIC, dengan KLIK di sini.
Di awal bulan ini, saat berlibur ke Bangkok (Thailand), kami membuat booking wisata lokal di sekitar Bangkok dengan pemandu wisata (guided tour), dan mendapat rekomendasi mengunjungi tiga atraksi paling laris di sekitar Bangkok saat ini. Tentunya ini di luar objek-objek wisata yang telah membuat Bangkok terkenal sejagad, seperti atraksi panti pijat, nightclubs, private escorts dan seterusnya, yang barangkali tidak memerlukan promosi, apalagi pemandu wisata. Ketiga atraksi wisata itu adalah: (1) Mae Klong Railway Market, (2) Damnoen Saduak Floating Market, dan (3) The Grand Palace (Istana Raja Thailand).
Sekalipun barangkali bagi kebanyakan turis Indonesia, atraksi tersebut bukan sesuatu yang “amazing” (mengagumkan), namun faktanya, Thailand membuktikan telah berhasil menciptakan nilai tambah (inovasi) yang fenomenal; dan terlebih penting lagi, ketiganya bisa dijadikan contoh sebagai praktek inovasi “non-disruptif” sebagaimana diwacanakan oleh Chan Kim & Renee di atas. Mestinya kita juga mempunyai segudang peluang serupa di Indonesia, khususnya dalam upaya kita menjadikan Indonesia sebagai tujuan wisata dunia yang bernilai tambah tinggi. Namun saat ini justru prospek tersebut banyak yang dianggap sebagai masalah atau bahkan aib, saat kita membangun objek-objek wisata berkelas dunia. Berikut oleh-oleh wisata ke Bangkok tersebut secara ringkas.
Mae Klong Railway Market
Berlokasi sekitar seratus kilometer arah barat daya dari pusat kota Bangkok, situasi di destinasi wisata ini tak ubahnya dengan “masalah” kereta KRL Jakarta yang melintas kawasan Tanah Abang di Jakarta. Kita memecahkan masalah ini dengan menggusur rumah liar dan penduduknya di sepanjang rel kereta, agar suasana tidak kumuh dan membahayakan keselamatan penduduk dan keretanya; sedangkan otoritas pariwisata Thailand justru seolah membiarkan "aib" ini apa adanya, malah menjadikannya sebagai atraksi wisata mancanegara. Dengan demikian, penduduk yang mencari kehidupan di tepi rel kereta maupun layanan keretanya sendiri malahan diuntungkan, dan para wisatawan mancanegara bisa membawa pulang kisah dan pengalaman "dramatis" tersebut sebagai oleh-oleh saat kembali ke negerinya. Belum lagi terhitung ekonomi yang diciptakan bagi pelaku pariwisata yang menyediakan transportasi serta pemandunya. Sebuah demonstrasi inovasi “Beyond Disruption” yang sungguh nyata, yang semoga bisa menginspirasi kita di Indonesia, soal bagaimana mengembangkan inovasi yang tidak menggusur masyarakat seperti biasanya. Berikut video ringkasnya (KLIK), dan juga video promosinya (KLIK2)
Damnoen Saduak Floating Market
Atraksi ini berlokasi sekitar 70 kilometer arah barat kota Bangkok, yang sebenarnya juga tidak berbeda dengan tradisi masyarakat Indonesia yang tinggal di kota-kota yang berlokasi di muara sungai besar, yaitu perekonomian rakyat termasuk pasar apung (floating market) yang mengandalkan sungai sebagai sarana perhubungan; seperti halnya di kota-kota Palembang, atau Banjarmasin atau Pontianak. Yang membuat pasar di Thailand ini berbeda adalah, karena mereka sekali lagi berhasil menjadikannya sebagai atraksi wisata dengan nilai tinggi, dan sekaligus menjadikan ekonomi rakyat terangkat dan berkembang. Silakan tonton video ringkas berikut dengan (KLIK3). Pertanyaan yang masih mengusik adalah, mengapa Thailand bisa melakukannya, mengapa kita “masih seperti yang dulu”?
Sepertinya kita yang harus mengubah paradigma berpikir kita sendiri, yang barangkali mengasumsikan bahwa turis asing yang modern dan kaya, perlu kita tawari dengan atraksi turis yang aman, nyaman dan tidak memalukan Indonesia. Jangan-jangan di situlah kekeliruan kita dalam berinovasi.
The Grand Palace (Istana Raja Thailand).
Untuk urusan atraksi wisata terkait budaya dan tradisi, Indonesia sebenarnya telah berinovasi dengan "lumayan", misalnya dengan suksesnya turisme Bali dan yang menyusul misalnya wisata candi kuno di Jawa Tengah, khususnya Borobudur yang upaya restorasinya mendapat bantuan dari seluruh dunia. Bahkan Borobudur telah dinobatkan sebagai salah satu dari tujuh kejaiban dunia. Salah satu tantangan terbesar dalam mengembangkan membuat situs kuno sebagai objek wisata adalah bagaimana membuat objeknya mengesankan, bahkan mengagumkan para pengunjungnya; tidak sekadar hanya “presentable”. Ini terkait dengan besarnya upaya dan dana untuk restorasi, renovasi dan perawatan situs/objek wisata tersebut; belum lagi soal bagaimana menjaga agar turis tidak melanggar tradisi setempat, atau bahkan membuatnya “tercemar”. Yang patut dicontoh dari sukses The Grand Palace Bangkok sebagai objek turis adalah paradigma baru yang mereka sadari; bahwa restorasi, renovasi dan perawatan istana untuk membuatnya “super kinclong” sampai ke detail-detailnya ternyata "pay-off" karena dihargai oleh para turis. Mereka menyimpulkan bahwa salah satu faktor penting dalam menarik wisatawan mengunjungi istana adalah karena kondisi istana yang selalu prima. Pengelola wisata ke istana mengatakan bahwa berkat perawatan istana secara terus-menerus (dan tidak menunggu sampai istana emas mereka menjadi buram atau suram), mereka justru dapat membiayainya cukup dengan kenaikan hasil penjualan tiket masuk harian, yang konon pernah mencapai lebih dari 10 juta Thai Baht (sekitar setengah milyar rupiah).
Semoga oleh-oleh wisata dari Bangkok ini menginspirasi kita semua bahwa inovasi besar tidak harus disruptif dan bisa mengorbankan atau merugikan beberapa pemangku kepentingannya, khususnya masyarakat.
Salam inovasi !
(ks/170224)